Friday, March 7, 2014

HURUF HIDUP ADALAH INSPIRASI

Sangat terasa berat untuk terhubung kemana dan siapapun, Semua melampirkan dendam disana-sini dan melumatkan cerita. Huruf hidup adalah inspirasi ketika ocehan dan sanjungan semua terawasi. Inikah yang indah, inikah sumpah, polemik ketika kesadaran adalah langkah jiwa. Hardikan adalah masukan berarti untuk memilih antara  bahagia atau kecewa.
Alihkan untuk semua dan kuliti semua cerita yang ada
Apa lelahkah semua kenali jiwa ketika upah jeritan memaksa, hanya luka dan cinta harapan kita dan sempitkan ruang berkata.
Dengar jiwa, dengar!!
Dengan terpisah luka terhantam lelah torehkan luka selang waktu terindah, apa yang terasa, ini yang terasa, dan ini yang kurasa.
Bagai lebah menyengat dan terbang pergi tetap ceritakan semua kisah abadi
Ujung langkah terbuai wangi raga namuntak pasti ingat puing jiwa terindah.
Dengar jiwa, dengar!!
Dengar jiwaku merintih melihat semua
Lelahkan semua kenali jiwa
Upah jeritan memaksa
Luka dan cinta harapan kita
Sempitkan ruang berkata.
Kini hampa tanpamu menyiksa, hingga hilang teman tidak bersisa, siksa jiwa hening semua.
Lihat apa yang tersisa hingga melekat di jiwa!
Alone at Last*


Monday, March 3, 2014

Negaraku, Penjara Nyataku


Porak poranda Negaraku,,
Hancur lebur tanah airku,
Kenapa? Kenapa? dan Kenapa?
Hanya itu-itu saja yang selalu muncul dalam benak dan pikiran, apakah selalu dan selalu begini, kita hidup di Negara yang serba modal, serba uang, dan serba kekangan sang penguasa.
Manusiakah mereka ?.
Tuhankah mereka ?.
Atau binatangkah mereka?.
Tanyaku padamu, wahai sang penguasa!.
Mereka seperti ular yang siap menerkam, ditengah aspirasi kami untuk memperjuangkan setitik Zahra kebahagian ummat!.
Apakah itu salah ?.
JAWAB…wahai sang pendosa!.
Mereka seperti manusia tak berjiwa, yang rela melihat anak bangsa mati hanya karena secuil nasi, sedangkan mereka tersenyum bahagia melihat peliharaan mereka makan segumpal daging segar,
Bahkan alam pun malu bila disandingkan dengan nama kalian!
Derita, Tangis, tak cukup gambarkan kekejaman kalian, harusnya kami ciptakan satu kata diatas Derita, Tangis diatas segalanya, untuk gambarkan penderitaan kami akibatmu!
Sakit, robek, luka, hati ini melihat SAUDARA KAMI tidur beratapkan langit dan berselimutkan asap KAPITAL kalian. Keindahan dan kemakmuran tanah kami, telah kalian rusak dengan dinding baja kalian.
Kami yakin tirani akan tumbang! walaupun jiwa dan darah ini jadi gantinya!
suara lantang melontah yang membuat badan kalian gemetar, gedung kalian terpecah, mata kalian berbinar ketakutan.
Pandanglah….keluar jendelamu…wahai sang dictator… kami telah datang dengan jiwa emas. Siap lelah utuk air mata SAUDARA KAMI! 

Apa Buruh Migran Terselamatkan?

Peringatan Hari Buruh Sedunia merupakan momentum kebangkitan gerakan buruh di seluruh dunia.
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh kembali menegaskan pembiaran negara terhadap penindasan buruh pada berbagai level, mulai dari praktik outsourcing, union busting, diskriminasi buruh perempuan, hingga upah. Tidak berbeda dengan nasib buruh di dalam negeri, buruh migran Indonesia juga masih mengalami eksploitasi, diskriminasi, perbudakan, dan pelanggaran HAM serius.
Beberapa hari terakhir Pemerintah Indonesia bahkan kalang-kabut menyikapi tuntutan keluarga tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat yang jadi korban penembakan polisi Malaysia. Upaya Kementerian Luar Negeri mengirim tim ke Malaysia untuk mengumpulkan informasi—padahal Kedubes RI di Kuala Lumpur sejak 3 April sudah menerima informasi kematian tiga buruh migran tersebut—ditambah proses otopsi yang lambat, kian menunjukkan sikap pemerintah yang reaktif, sporadis, dan selalu tak tuntas dalam menghadapi persoalan buruh migran.
Dianggap musibah
Kalau tidak ada tuntutan keluarga, mungkin saja Pemerintah Indonesia tidak mengupayakan protes kepada Malaysia, apalagi mengusut penembakan tiga warga negaranya. Sungguh ini sebuah kelalaian fatal yang tidak hanya berdampak pada hilangnya penghormatan negara lain terhadap buruh migran Indonesia, tetapi juga melecehkan martabat dan kedaulatan bangsa.
Ironis memang! Kematian buruh migran selalu saja dilihat sebagai musibah semata. Setidaknya itulah salah satu pernyataan dari pejabat Kemenlu RI saat menerima keluarga tiga buruh migran, Koslata, dan Migrant Care pada 23 April 2012. Padahal, dalam ketentuan UU No 39/2004 Pasal 73 Ayat (2) tentang penempatan dan perlindungan TKI, aturan tentang prosedur tetap penanganan buruh migran yang meninggal di luar negeri sangat jelas.
Pertama, kewajiban untuk memberitahukan kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 x 24 jam sejak kematiannya diketahui. Kedua, mencari informasi tentang sebab-sebab kematian. Ketiga, memulangkan jenazah TKI ke tempat asal secara layak serta menanggung semua biaya, termasuk biaya penguburan. Keempat, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta TKI untuk kepentingan anggota keluarga. Kelima, mengurus pemenuhan hak-hak TKI yang seharusnya diterima.
Mengikuti penjelasan di atas, tampaklah kelalaian KBRI Kuala Lumpur dalam menangani ketiga buruh migran tersebut. Pemulangan jenazah diurus oleh perusahaan jasa di Malaysia dan masing-masing keluarga harus membayar Rp 13 juta.
Melalui surat KBRI Nomor 0817-0818-0819/SK-JNH/04/2012 yang ditandatangani Heru Budiarso, sekretaris kedua konsuler, dinyatakan bahwa KBRI, karena kondisi yang tidak memungkinkan, tidak melakukan pengecekan atas sebab-sebab kematian.
Diplomasi tidak tegas
Ini bukan kali pertama polisi Diraja Malaysia bertindak represif terhadap buruh migran Indonesia. Tindakan tersebut adalah kelanjutan dari stigmatisasi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia sebagai kriminal dan terus-menerus menyebut buruh migran Indonesia dengan sebutan ”indon”. Sikap Pemerintah Indonesia yang terlalu lembek dan toleran sesungguhnya menjadi akar dari terus berulangnya kejadian yang sama. Menurut catatan Migrant Care, selama pemerintahan SBY terjadi tiga peristiwa penembakan terhadap buruh migran yang proses penegakan hukumnya tidak tuntas.
Pada 9 Maret 2005, polisi Diraja Malaysia menembak empat buruh migran, yakni Gaspar, Dedi, Markus, dan Reni di Sungai Buloh, Selangor, atas dugaan kriminalitas. Lima tahun berikutnya, 16 Maret 2010, tiga buruh migran asal Sampang, yakni Musdi, Abdul Sanu, dan Muklis, ditembak polisi Malaysia di Danau Putri dengan dugaan serupa. Lalu, pada 24 Maret 2012, tiga buruh migran asal NTB, yakni Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noor juga ditembak.
Peristiwa yang sama bisa saja terjadi lagi selama Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan diplomasi lembek menghadapi Malaysia. Kasus ini sudah selayaknya menjadi bahan evaluasi terhadap model diplomasi RI dengan Malaysia.
Penanganan persoalan buruh migran yang masih berlangsung seperti sekarang akan kontraproduktif terhadap komitmen Pemerintah Indonesia yang baru saja meratifikasi International Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families pada Sidang Paripurna DPR, 12 April 2012.
Konvensi tersebut sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar penegakan HAM buruh migran, yakni tanggung jawab negara, nondiskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan kesetaraan dalam penerimaan hak. Dengan demikian, tidak relevan mempersoalkan status keimigrasian ketiga buruh migran yang tidak berdokumen.
Tindak lanjuti ratifikasi
Komitmen ratifikasi harus segera ditindaklanjuti dengan implementasi konkret untuk perlindungan hak-hak buruh migran. Setidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, mengkaji ulang dan mengevaluasi seluruh kebijakan yang ada di Indonesia terkait perlindungan buruh migran. Kebijakan yang tidak selaras harus diganti kebijakan baru, termasuk UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. UU adalah regulasi paling utama yang isinya harus disesuaikan dengan konvensi karena UU ini merupakan payung hukum dalam penempatan dan perlindungan buruh migran.
Kedua, meninjau ulang semua kelembagaan yang relevan dengan tugas pokok dan fungsi perlindungan buruh migran, terutama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Salah satu ketentuan dalam konvensi: negara pihak harus membentuk badan-badan yang layak untuk memastikan implementasi konvensi.
Ketiga, membangun mekanisme perlindungan bagi buruh migran pada keseluruhan tahapan migrasi dari pra-, selama bekerja, hingga purnamigrasi.
Pemerintah juga harus memperbaiki sumber daya manusia. Sebaik apa pun aturan dan sistemnya, tanpa sumber daya manusia yang jujur dan berdedikasi, nasib buruh migran tidak akan pernah menjadi lebih baik. Presiden SBY perlu berani mengevaluasi kinerja birokrasi secara fundamental. Hal ini penting untuk mengurangi beban dan derita masyarakat karena birokrasi yang tidak mendukung.
Akhirnya, semoga Hari Buruh kali ini tidak hanya menjadi milik buruh, tetapi juga negara yang berani ambil bagian secara aktif untuk memperbaiki politik ketenagakerjaan di Indonesia, baik perbaikan nasib buruh di dalam maupun di luar negeri.
Inilah negaraku, negaraku penjaraku!

KAMI BUKAN BADUT

'KAMI BUKAN BADUT' kenapa seperti itu karena kita diciptakan dalam kesetaraan, dan keselarasan bersama. tetepi dijaman yang sudah total kiamat moral seperti saat ini banyak kesenjangan-kesenjanan yang terjadi, kaum-kaum terbelakang dan kurang mampu menjadi korban kekuasaan, ingat kami bukan lelucon kalian, inilah yang menyebabkan hal itu terjadi, meliputi :

1. PELAPISAN SOSIAL
Dalam kali ini saya akan membahas sedikit tentang pelapisan social atau sering disebut juga stratifikasi social. Apakah pelapisan social itu? Menurut saya pelapisan social adalah tingkatan suatu kedudukan antara setiap makhluk hidup dalam kehidupan di masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat pasti aka nada tingkatannya sesuai dengan keadaan yang dimiliki. Contohnya kedudukan dalam kekayaan, keturunan, mata pencaharian/pekerjaan.
Ada pengertian lain menurut para ahli sosiologi yaitu,
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis). Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Statifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Dalam pelapisan social tentu saja memiliki dasar-dasar pembentukannya, yaitu:
- Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja,serta kemampuannya dalam berbagi kepada sesama
 - Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
- Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
- Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Terjadinya Pelapisan Sosial 
Terjadinya Pelapisan sosial disebabkan oleh 2 hal, diantaranya yaitu:
▪ Terjadi dengan sendirinya
Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Ada pula lapisan tertentu yang terbentuk bukan berdasarkan kesengajaan, tetapi secara alamiah. Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya.
Oleh karena sifatnya yang tanpa sengaja inilah, maka bentuk lapisan dan dasar daripada pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat dimana system itu berlaku.
 ▪ Terjadi dengan sengaja
Sistem ini ditunjukan untuk mengejar tujuan bersama. Dengan adanya pembagian yang jelas dalam hal wewenang dan kekuasaan ini, maka didalam organisasi itu teradapat keteraturan sehingga jelas bagi setiap orang ditempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dan dalam suatu organisasi baik secara vertical maupun horizontal.
Didalam sistem organisasi ini mengandung dua system, yaitu:
1) Sistem Fungsional; merupakan pembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya berdampingan dan harus bekerja sama dalam kedudukan yang sederajat. Namun kelemahannya karena organisasi itu sudah diatur sedemikian rupa, sering terjadi masalah dalam menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
2) Sistem Skalar;merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga atau jenjang dari bawah ke atas(vertical).
2. KESAMAAN DERAJAT
Setelah kita membahas tentang pelapisan social sekarang kita akan membahas tentang kesamaan  derajat. Kesamaan derajat adalah merupakan sesuatu yang bisa dikatakan atau sesuatu yang selalu berhubungan dengan status. Kesamaan derajat terkadang dapat membuat seseorang merasa menjadi lebih berwibawa, dan biasanya orang yang mempunyai sifat seperti itu rasanya dia ingin selalu disegankan di sekitar atau di lingkungan tempat tinggalnya. Sifat yang seperti ini sangat tidak baik. Dalam hidup bertetangga kita jangan sampai mempunya sifat yang seperti itu, karna itu akan membuat hubungan antar tetengga menjadi tidak harmonis dan itu rasanya sangat tidak enak dan nyaman. Dalam hidup bertetangga kita harus selalu tanamkan prinsip bahwa apa yang kita inginkan harus sesuai dengan apa yang kita rasakan.
Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya Universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia. Pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 29(2) menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

CACAT SEDERAJAT

Cacat sederajat adalah sisi lain dari istilah yang dirasa cocok dengan jiwa melenceng anak muda jaman sekarang yang berbeda dalam pemandangan dan fikiran, inilah jiwa pemimpin yang sebenarnya proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi dalam kesetaraan. Caraalamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.
Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.

Kepemimpinan Yang Efektif

Barangkali pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan.Terdapat nasihat tentang siapa yang harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya).Terdapat lebih dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimipin (leader). Bagaimana menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku.Guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: "pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.

Kepemimpinan Karismatik 

Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin.

Kepemimpinan Transformasional

Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk mengubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance”. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang berjudul “Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership”, Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “the Four I’s”.
Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).
Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978). Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan praktekpraktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing. 
Inilah yang menjadikan semakin maju dan berbeda dengan yang lainnya, jadilah pemimpin yang berpedoman pada istilah "cacat sederajat". 
Semoga Tuhan selalu bersama kita, amin



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Iptek-4u